Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat santri di berbagai pelosok tanah air kembali dibuat gusar oleh tayangan salah satu program televisi di Trans7 yang dianggap menghina dunia pesantren. Dalam segmen yang dimaksud, muncul representasi pesantren yang dilecehkan melalui candaan berbau stereotip dan pelecehan moral. Reaksi keras pun datang dari berbagai kalangan: para kiai, alumni pondok pesantren, hingga masyarakat umum yang selama ini melihat pesantren sebagai benteng moral bangsa.
Tayangan semacam itu bukan sekadar kekeliruan teknis atau “candaan berlebihan” seperti yang kerap dijadikan alasan oleh stasiun televisi. Ia adalah cermin dari krisis etika media yang gagal membaca sensitivitas sosial-keagamaan Indonesia. Dunia pesantren bukanlah ruang asing dalam kebudayaan bangsa; ia adalah rahim peradaban yang melahirkan para pejuang, ulama, dan pendidik bangsa. Ketika pesantren dijadikan bahan olok-olok, yang dilukai bukan hanya satu lembaga, tetapi warisan kultural dan spiritual yang telah membentuk wajah keindonesiaan selama ratusan tahun.
Media seharusnya menjadi cermin masyarakat, bukan senjata yang melukai nilai-nilai luhur yang hidup di tengah masyarakat. Dalam teori komunikasi publik, media memiliki fungsi edukatif, informatif, dan rekreatif. Namun, ketika fungsi rekreatif dijalankan tanpa kendali moral dan kepekaan sosial, hiburan berubah menjadi penghinaan. Ini bukan sekadar kesalahan editorial, melainkan kegagalan struktural dalam membangun ethical journalism—jurnalisme yang sadar akan tanggung jawab sosialnya.
Salah satu ironi terbesar dunia media modern adalah ketika kebebasan berekspresi dijadikan tameng bagi penghinaan terhadap entitas keagamaan. Dalam konteks demokrasi, kebebasan berekspresi memang hak setiap insan, tetapi hak tersebut tidak berdiri di ruang hampa. Ia memiliki batas, dan batas itu adalah kemanusiaan serta kehormatan publik. Mengolok-olok pesantren sama dengan mengolok-olok akar moral bangsa.
Pesantren bukan sekadar tempat belajar kitab kuning. Ia adalah laboratorium peradaban—tempat di mana kejujuran, kesabaran, kerja keras, dan ketulusan ditempa setiap hari. Santri hidup dalam keterbatasan, namun dari keterbatasan itulah lahir para ulama yang mencerdaskan umat. Dari pesantren pula lahir tokoh-tokoh nasional seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim yang memerdekakan bangsa dengan ilmu dan akhlak. Lalu bagaimana mungkin lembaga seagung itu diperlakukan sebagai bahan tertawaan di panggung hiburan?
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian insan media kehilangan kesadaran historis. Dalam kebudayaan Nusantara, menghormati kiai dan santri bukan sekadar adat, melainkan ekspresi penghormatan terhadap ilmu. Ulama adalah pewaris para nabi (al-‘ulama’ waratsatul anbiya). Ketika media mengabaikan hal ini, ia sedang meruntuhkan tiang peradaban bangsa.
Tindakan Trans7 memang telah menuai permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tidak otomatis menghapus luka kolektif santri Indonesia. Yang dibutuhkan bukan sekadar permohonan maaf, tetapi reformasi etika media. Stasiun televisi harus memiliki filter moral yang ketat: konten harus melewati uji sensitivitas sosial sebelum tayang. Redaksi pun wajib menanamkan kesadaran bahwa publik Indonesia terdiri dari berbagai latar keagamaan dan budaya yang harus dihormati.
Lebih jauh, kasus ini menjadi pelajaran bagi para pekerja media bahwa humor tidak pernah bebas nilai. Candaan yang menyinggung keyakinan orang lain bukanlah bentuk kecerdasan, melainkan kebodohan yang dibungkus kelucuan. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan komersialisasi konten, media harus kembali pada ethos awalnya: mengabdi kepada kebenaran dan kemaslahatan publik.
Masyarakat pesantren tidak anti-kritik. Namun, kritik yang sehat lahir dari niat membangun, bukan menista. Pesantren selalu membuka diri terhadap dialog dan perubahan, tetapi tidak akan pernah diam ketika martabatnya diinjak. Karena bagi santri, menjaga kehormatan pesantren adalah bagian dari menjaga kehormatan agama dan bangsa.
Sebagai penutup, Ibnu ‘Asakir pernah menyatakan, “Ketahuilah, daging para ulama beracun. Barang siapa membicarakan mereka dengan kebencian, niscaya Allah akan membinasakan hatinya sebelum ia mati.”